Selasa, 05 April 2011

Perkembangan Perekonomian Indonesia

Perkembangan Perekonomian Indonesia
Dinamika pembangunan ekonomi suatu negara dipengaruhi oleh dua faktor yaitu:
Faktor Internal: kondisi fisik (iklim), lokasi geografis, jumlah dan kualitas sumber daya alam, sumber daya manusia, kondisi awal ekonomi, sosial dan budaya, system politik, dan peran pemerintah dalam pembangunan
Faktor eksternal: perkembangan teknologi, kondisi perekonomian dan politik dunia, dan keamanan global
Ada banyak anggapan bahwa Indonesia sebagai negara berkembang itu karena bekas jajahan Belanda sedangkan Malaysia, Hongkong, India dan Singapura mempunyai pembangunan yang lebih maju karena dijajah oleh Inggris.  Anggapan seperti itu adalah salah besar karena keberhasilan pembangunan ekonomi  suatu negara tidak ditentukan oleh siapa penjajahnya, tapi ditentukan oleh:
v  Orientasi politik.
v  Sistem ekonomi.

Kebijakan pemerintah dalam pembangunan ekonomi setelah pemerintahan penjajah.
Mari kita berkaca, keadaan politik kita tidak sebaik negara-negara maju itu, orientasi politik kita lebih cenderung kepada siapa yang berkuasa bagaimana caranya untuk tetap mempertahankan kekuasaannya, dan mensejahterakan individu ataupun kelompoknya masing-masing.
Sistem ekonomi yang kita anut sering berubah-ubah terkesan seperti mengambang, dikatakan menganut sistem ekonomi campuran juga tidak. Karena banyak sekali kebijakan ekonomi pemerintah yang lebih menguntungkan segelintir pengusaha swasta bukan masyarakat secara keseluruhan. Adanya politik balas dendam sering mengakibatkan kebijakan pemerintah sebelumnya di ganti dengan kebijakan pemerintah yang baru, dan apabila itu terus berlanjut akan berdampak pada tidak terselesaikannya program-program pemerintah yang ada.

II.2. Perekonomian Indonesia dari Periode ke Periode
II.2.1 Periode Pra Kemerdekaan
Ada empat negara yang pernah menduduki Indonesia, yaitu Portugis, Belanda, Inggris, dan Jepang.  Portugis tidak meninggalkan jejak yang mendalam di Indonesia karena keburu diusir oleh Belanda, tetapi Belanda yang kemudian berkuasa sekitar 350 tahun, sudah menerapkan berbagai sistem yang masih tersisa hingga kini.
Masa Kependudukan Belanda
Belanda melimpahkan wewenang untuk mengatur Hindia Belanda kepada VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie) sebuah perusahaan yang didirikan dengan tujuan untuk menghindari persaingan antar sesama pedagang Belanda, sekaligus untuk menyaingi perusahaan imperialis lain seperti EIC (Inggris). Untuk mempermudah langkahnya di Hindia Belanda (Indonesia dulu). VOC diberikan hak-hak istimewa, antara lain:
v  Hak mencetak uang.
v  Hak mengangkat dan memberhentikan pegawai.
v  Hak menyatakan perang dan damai.
v  Hak untuk membuat angkatan bersenjata sendiri.
v  Hak untuk membuat perjanjian dengan raja-raja.

Hak-hak itu seakan melegalkan keberadaan VOC sebagai “penguasa” Hindia Belanda.  Namun, tidak berarti bahwa seluruh ekonomi Nusantara telah dikuasai VOC.  Kenyataannya, sejak tahun 1620, VOC hanya menguasai komoditi-komoditi ekspor sesuai permintaan pasar di Eropa, yaitu rempah-rempah. Kota-kota dagang dan jalur-jalur pelayaran yang dikuasainya adalah untuk menjamin monopoli atas komoditi itu.
VOC juga belum membangun sistem pasokan kebutuhan-kebutuhan hidup penduduk pribumi. Peraturan-peraturan yang ditetapkan VOC seperti verplichte leverentie (kewajiban meyerahkan hasil bumi pada VOC) dan contingenten (pajak hasil bumi) dirancang untuk mendukung monopoli itu. Disamping itu, VOC juga menjaga agar harga rempah-rempah tetap tinggi, antara lain dengan diadakannya pembatasan jumlah tanaman rempah-rempah yang boleh ditanam penduduk, pelayaran Hongi dan hak extirpatie (pemusnahan tanaman yang jumlahnya melebihi peraturan). Semua aturan itu pada umumnya hanya diterapkan di Maluku yang memang sudah diisolasi oleh VOC dari pola pelayaran niaga samudera Hindia.  Dengan memonopoli rempah-rempah, diharapkan VOC akan menambah isi kas negeri Belanda, dan dengan begitu akan meningkatkan pamor dan kekayaan Belanda.  Tetapi, pada tahun 1795, VOC bubar karena dianggap gagal dalam mengeksplorasi kekayaan Hindia Belanda.  Kegagalan itu nampak pada defisitnya kas VOC.
            Selain VOC, pemerintah Belanda juga memberlakukan sistem Cultuurstelstel (sistem tanam paksa) mulai diberlakukan pada tahun 1836 atas inisiatif Van Den Bosch. Tujuannya adalah untuk memproduksi berbagai komoditi yang ada permintaannya di pasaran dunia.  Sejak saat itu, diperintahkan pembudidayaan produk-produk selain kopi dan rempah-rempah, yaitu gula, nila, tembakau, teh, kina, karet, kelapa sawit, dll. Sistem ini jelas menekan penduduk pribumi, tapi amat menguntungkan bagi Belanda, apalagi dipadukan dengan sistem konsinyasi (monopoli ekspor).
Setelah penerapan kedua sistem ini, seluruh kerugian akibat perang dengan Napoleon di Belanda langsung tergantikan berkali lipat.
            Sistem ini digunakan dalam rangka memperkenalkan penggunaan uang pada masyarakat pribumi. Masyarakat diwajibkan menanam tanaman komoditas ekspor dan menjual hasilnya ke gudang-gudang pemerintah untuk kemudian dibayar dengan harga yang sudah ditentukan oleh pemerintah. Bagi masyarakat pribumi, sudah tentu cultuurstelstel amat memeras keringat dan darah mereka, apalagi aturan kerja rodi juga masih diberlakukan. Namun segi positifnya adalah, mereka mulai mengenal tata cara menanam tanaman komoditas ekspor yang pada umumnya bukan tanaman asli Indonesia, dan masuknya ekonomi uang di pedesaan yang memicu meningkatnya taraf hidup mereka. Bagi pemerintah Belanda, ini berarti bahwa masyarakat sudah bisa menyerap barang-barang impor yang mereka datangkan ke Hindia Belanda. Dan ini juga merubah cara hidup masyarakat pedesaan menjadi lebih komersial, tercermin dari meningkatnya jumlah penduduk yang melakukan kegiatan ekonomi non agraris.
            Selain VOC dan cultur stelstel pemerintah Belanda juga memberlakukan sitem ekonomi pintu terbuka yang mendorong pemerintah Hindia Belanda untuk mengubah kebijakan ekonominya. Dibuatlah peraturan-peraturan agraria yang baru, yang antara lain mengatur tentang penyewaan tanah pada pihak swasta untuk jangka 75 tahun, dan aturan tentang tanah yang boleh disewakan dan yang tidak boleh. Pada akhirnya, sistem ini bukannya meningkatkan kesejahteraan masyarakat pribumi, tapi malah menambah penderitaan, terutama bagi para kuli kontrak yang pada umumnya tidak diperlakukan layak.

Masa Kependudukan Inggris ( 1811-1816 )
            Inggris berusaha merubah pola pajak hasil bumi yang telah hampir dua abad diterapkan oleh Belanda, dengan menerapkan Landrent ( pajak tanah ). Sistem ini sudah berhasil di India, dan Thomas Stamford Raffles mengira sistem ini akan berhasil juga di Hindia Belanda. Selain itu, dengan landrent, maka penduduk pribumi akan memiliki uang untuk membeli barang produk Inggris atau yang diimpor dari India. Inilah imperialisme modern yang menjadikan tanah jajahan tidak sekedar untuk dieksplorasi kekayaan alamnya, tapi juga menjadi daerah pemasaran produk dari negara penjajah. Akan tetapi, perubahan yang cukup mendasar dalam perekonomian ini sulit dilakukan, dan bahkan mengalami kegagalan di akhir kekuasaan Inggris yang hanya seumur jagung di Hindia Belanda. Hal ini disebabkan oleh:
v  Masyarakat Hindia Belanda pada umumnya buta huruf dan kurang mengenal uang, apalagi untuk menghitung luas tanah yang kena pajak.
v  Pegawai pengukur tanah dari Inggris sendiri jumlahnya terlalu sedikit.
Kebijakan ini kurang didukung raja-raja dan para bangsawan, karena Inggris tak mau mengakui suksesi jabatan secara turun-temurun.

Masa Kependudukan Jepang (1942-1945)
Pemerintah militer Jepang menerapkan suatu kebijakan pengerahan sumber daya ekonomi mendukung gerak maju pasukan Jepang dalam perang Pasifik. Sebagai akibatnya, terjadi perombakan besar-besaran dalam struktur ekonomi masyarakat. Kesejahteraan rakyat merosot tajam dan terjadi bencana kekurangan pangan, karena produksi bahan makanan untuk memasok pasukan militer dan produksi minyak jarak untuk pelumas pesawat tempur menempati prioritas utama. Impor dan ekspor macet, sehingga terjadi kelangkaan tekstil yang sebelumnya didapat dengan jalan impor. Seperti ini lah sistem sosialis ala bala tentara Dai Nippon. Segala hal diatur oleh pusat guna mencapai kesejahteraan bersama yang diharapkan akan tercapai seusai memenangkan perang Pasifik.

II.2.2 Periode kemerdekaan
Pasca Kemerdekaan (1945-1950)
Keadaan ekonomi (keuangan) Indonesia pada masa awal kemerdekaan amat buruk.
Penyebabnya antara lain adalah sebagai berikut  :
a. Inflasi yang sangat tinggi, disebabkan karena beredarnya lebih dari satu mata uang secara tidak terkendali. Pada waktu itu, untuk sementara waktu pemerintah RI menyatakan tiga mata uang yang berlaku di wilayah RI, yaitu mata uang De Javasche Bank, mata uang pemerintah Hindia Belanda, dan mata uang pendudukan Jepang.
b. Kemudian pada tanggal 6 Maret 1946, Panglima AFNEI (Allied Forces for Netherlands East Indies/pasukan sekutu) mengumumkan berlakunya uang NICA di daerah-daerah yang dikuasai sekutu. Pada bulan Oktober 1946, pemerintah RI juga mengeluarkan uang kertas baru, yaitu ORI (Oeang Republik Indonesia) sebagai pengganti uang Jepang.  Berdasarkan teori moneter, banyaknya jumlah uang yang beredar mempengaruhi kenaikan tingkat harga.
c. Adanya blokade ekonomi oleh Belanda sejak bulan November 1945 untuk menutup pintu perdagangan luar negeri RI.
d. Kas negara kosong.
e. Eksploitasi besar-besaran di masa penjajahan.

Masa Demokrasi Liberal (1950-1957)
Masa ini disebut masa liberal, karena dalam politik maupun sistem ekonominya menggunakan prinsip-prinsip liberal. Perekonomian diserahkan pada pasar sesuai teori-teori mazhab klasik yang menyatakan laissez faire laissez passer. Padahal pengusaha pribumi masih lemah dan belum bisa bersaing dengan pengusaha nonpribumi, terutama pengusaha Cina.
Pada akhirnya sistem ini hanya memperburuk kondisi perekonomian Indonesia yang baru merdeka.
Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1967)
Sebagai akibat dari dekrit presiden 5 Juli 1959, maka Indonesia menjalankan sistem demokrasi terpimpin dan struktur ekonomi Indonesia menjurus pada sistem etatisme (segala-galanya diatur oleh pemerintah). Dengan sistem ini, diharapkan akan membawa pada kemakmuran bersama dan persamaan dalam sosial, politik,dan ekonomi (Mazhab Sosialisme). Akan tetapi, kebijakan-kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah di masa itu belum mampu memperbaiki keadaan ekonomi di Indonesia.
Kegagalan-kegagalan dalam berbagai tindakan moneter itu diperparah karena pemerintah tidak menghemat pengeluaran-pengeluarannya. Pada masa ini banyak proyek-proyek mercusuar yang dilaksanakan pemerintah, dan juga sebagai akibat politik konfrontasi dengan Malaysia dan negara-negara Barat. Sekali lagi, ini juga salahsatu konsekuensi dari pilihan meunakan sistem demokrasi terpimpin yang bisa diartikan bahwa Indonesia berkiblat ke Timur (sosialis) baik dalam politik, ekonomi, maupun bidang-bidang lain.
Jadi kesimpulannya sejarah bangsa Indonesia pasca kemerdekaan sangat buruk,bahkan bisa dikatakan pemerintah belum bisa menyanggah perekonomian yang terpuruk,dan ironisnya malah menambah kegagalan perkembangan ekonomi pada saat masa-masa tersebut.

II.2.3 Periode Orde Lama
Periode 1945-1965, ditandai oleh kekacauan perekonomian dan politik meskipun beberapa pertumbuhan ekonomi dapat disangkal memang terjadi selama bertahun-tahun. Namun, ketidakstabilan ekonomi makro, kurangnya investasi asing dan kekakuan struktural membentuk masalah ekonomi yang berhubungan erat dengan perjuangan kekuatan politik. Sukarno, presiden pertama republik Indonesia, memiliki menyukai vokal kolonialisme. Usahanya untuk menghilangkan kontrol ekonomi asing yang tidak selalu mendukung perjuangan ekonomi negara berdaulat yang baru.. 'Orde Lama' telah lama menjadi 'daerah hilang' dalam sejarah ekonomi Indonesia, tetapi pembentukan negara kesatuan dan penyelesaian isu-isu politik utama, termasuk beberapa derajat konsolidasi teritorial (serta konsolidasi peran tentara) sangat penting bagi pembangunan ekonomi nasional.
 Pengembangan Kebijakan dan Perencanaan Ekonomi selama periode Orde Baru

Orde Baru  Soeharto menolak mobilisasi politik dan ideologi sosialis, dan mendirikan rezim dikontrol ketat , namun  menempatkan perekonomian Indonesia kembali pada kesejahteraan.
Arus baru investasi asing dan program-program bantuan asing tertarik, pertumbuhan penduduk yang tak terkendali itu karena program keluarga berencana berkurang, dan terjadi transformasi dari ekonomi terutama pertanian menuju ekonomi industrialisasi.
Tiga fase dalam periode ini, masing-masing yang patut dipelajari lebih lanjut:
a) 1966-1973: stabilisasi, rehabilitasi, liberalisasi parsial dan pemulihan ekonomi.
b)  1974-1982: booming minyak, pertumbuhan ekonomi yang cepat, dan meningkatnya intervensi pemerintah.
c)  1983-1996: pasca boom minyak, deregulasi, liberalisasi diperbaharui (sebagai reaksi terhadap harga minyak yang terus turun), dan pertumbuhan ekspor yang dipimpin cepat. Selama tahap terakhir, komentator (termasuk ekonom akademik) semakin prihatin tentang korupsi berkembang di semua tingkat birokrasi pemerintah: KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) praktek, karena mereka kemudian menjadi dikenal
Penyelenggaraan perekonomian Indonesia sejak 1967 hampir selalu diliputi oleh masalah. Penyebabnya sangat sederhana. Sebagai antitesis dari pemerintahan Soekarno. Pemerintahan Soeharto dengan sengaja menggeser orientasi perekonomian Indonesia dari sisi kiri ke sisi kanan (dari perekomian tertutup yang anti investasi asing ke perekonomian yang membuka investasi asing).
Padahal, pasal 33 UUD 1945 dengan tegas mengamanatkan agar perekonomian Indonesia disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas azas kekeluargaan. Sebagaimana dikemukakan oleh Bung Hatta, yang dimaksud dengan usaha bersama atas berdasar azas kekeluargaan itu adalah koperasi.
Dengan amanat konstitusi seperti itu, pergeseran orientasi kebijakan perekonomian Indonesia dari kiri ke kanan, sebagaimana dilakukan oleh pemerintah Soeharto, berpotensi menyebabkan terjadinya kerancuan konstitusional .

II.2.4 Periode Orde Baru
1.      Masa sebelum krisis
            Di awal Orde Baru, Suharto berusaha keras membenahi ekonomi Indonesia yang terpuruk, dan berhasil untuk beberapa lama. Kondisi ekonomi Indonesia ketika Pak Suharto pertama memerintah adalah keadaan ekonomi dengan inflasi sangat tinggi, 650% setahun. Untuk menekan inflasi yang begitu tinggi, Suharto membuat kebijakan yang berbeda. Dengan tujuan menertibkan anggaran, menertibkan sektor perbankan, mengembalikan ekonomi pasar, memperhatikan sektor ekonomi, dan merangkul negara-negara barat untuk menarik modal.
Setelah itu di keluarkan ketetapan MPRS No.XXIII/MPRS/1966 tentang Pembaruan Kebijakan ekonomi, keuangan dan pembangunan. Lalu Kabinet AMPERA membuat kebijakan mengacu pada Tap MPRS tersebut adalah sebagai berikut.
Mendobrak kemacetan ekonomi dan memperbaiki sektor-sektor yang menyebabkan kemacetan, seperti :
a. Rendahnya penerimaan Negara
b. Tinggi dan tidak efisiennya pengeluaran Negara
c. Terlalu banyak dan tidak produktifnya ekspansi kredit bank
d. Terlalu banyak tunggakan hutang luar negeri penggunaan devisa bagi  impor yang sering  kurang berorientasi pada kebutuhan prasarana.
Untuk melaksanakan langkah-langkah penyelamatan tersebut maka ditempuh cara:
Mengadakan operasi pajak
Cara pemungutan pajak baru bagi pendapatan perorangan dan kekayaan dengan menghitung pajak sendiri dan menghitung pajak orang.
Menurut Emil Salim, Suharto menerapkan cara militer dalam menangani masalah ekonomi yang dihadapi Indonesia, yaitu dengan mencanangkan sasaran yang tegas. Pemerintah lalu melakukan Pola Umum Pembangunan Jangka Panjang (25-30 tahun) dilakukan secara periodik lima tahunan yang disebut Pelita (Pembangunan Lima Tahun) yang dengan melibatkan para teknokrat dari Universitas Indonesia, dia berhasil memperoleh pinjaman dari negara-negara Barat dan lembaga keuangan seperti IMF dan Bank Dunia.
Liberalisasi perdagangan dan investasi kemudian dibuka selebarnya. Inilah yang sejak awal dipertanyakan oleh Kwik Kian Gie, yang menilai kebijakan ekonomi Suharto membuat Indonesia terikat pada kekuatan modal asing.

Pelita berlangsung dari Pelita I-Pelita VI
1.      Pelita I (1 April 1969 – 31 Maret 1974)
Dilaksanakan pada 1 April 1969 hingga 31 Maret 1974 yang menjadi landasan awal pembangunan Orde Baru.
Tujuan Pelita I       :
Untuk meningkatkan taraf hidup rakyat dan sekaligus meletakkan dasar-dasar bagi pembangunan dalam tahap berikutnya.
Sasaran Pelita I     :
Pangan, Sandang, Perbaikan prasarana, perumahan rakyat, perluasan lapangan kerja, dan kesejahteraan rohani.
Titik Berat Pelita I   :
Pembangunan bidang pertanian sesuai dengan tujuan untuk mengejar keterbelakangan ekonomi melalui proses pembaharuan bidang pertanian, karena mayoritas penduduk Indonesia masih hidup dari hasil pertanian.

2.      Pelita II (1 April 1974 – 31 Maret 1979)
Sasaran yang hendak di capai pada masa ini adalah pangan, sandang, perumahan, sarana dan prasarana, mensejahterakan rakyat, dan memperluas lapangan kerja . Pelita II berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi rata-rata penduduk 7% setahun. Perbaikan dalam hal irigasi. Di bidang industri juga terjadi kenaikna produksi. Lalu banyak jalan dan jembatan yang di rehabilitasi dan di bangun.

3.      Pelita III (1 April 1979 – 31 Maret 1984)
Pelita III lebih menekankan pada Trilogi Pembangunan yang bertujuan terciptanya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Arah dan kebijaksanaan ekonominya adalah pembangunan pada segala bidang. Pedoman pembangunan nasionalnya adalah Trilogi Pembangunan dan Delapan Jalur PemerataanInti dari kedua pedoman tersebut adalah kesejahteraan bagi semua lapisan masyarakat dalam suasana politik dan ekonomi yang stabil.
Isi Trilogi Pembagunan adalah sebagai berikut.
Pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya menuju kepada terciptanya keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi.
Stabilitas nasional yang sehat dan dinamis.


4. Pelita IV (1 April 1984 – 31 Maret 1989)
Pada Pelita IV lebih dititik beratkan pada sektor pertanian menuju swasembada pangan dan meningkatkan ondustri yang dapat menghasilkan mesin industri itu sendiri. Hasil yang dicapai pada Pelita IV antara lain swasembada pangan. Pada tahun 1984 Indonesia berhasil memproduksi beras sebanyak 25,8 ton. Hasil-nya Indonesia berhasil swasembada beras. kesuksesan ini mendapatkan penghargaan dari FAO(Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia) pada tahun 1985. hal ini merupakan prestasi besar bagi Indonesia. Selain swasembada pangan, pada Pelita IV juga dilakukan Program KB dan Rumah untuk keluarga.

5. Pelita V (1 April 1989 – 31 Maret 1994)
Pada Pelita V ini, lebih menitik beratkan pada sektor pertanian dan industri untuk memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan produksi pertanian lainnya serta menghasilkan barang ekspor.
Pelita V adalah akhir dari pola pembangunan jangka panjang tahap pertama. Lalu dilanjutkan pembangunan jangka panjang ke dua, yaitu dengan mengadakan Pelita VI yang di harapkan akan mulai memasuki proses tinggal landas Indonesia untuk memacu pembangunan dengan kekuatan sendiri demi menuju terwujudnya masyarakat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Awal dari Krisis Moneter di Indonesia
6. Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Titik beratnya masih pada pembangunan pada sektor ekonomi yang berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya. Sektor ekonomi dipandang sebagai penggerak utama pembangunan. Pada periode ini terjadi krisis moneter yang melanda negara-negara Asia Tenggara termasuk Indonesia. Karena krisis moneter dan peristiwa politik dalam negeri yang mengganggu perekonomian menyebabkan rezim Orde Baru runtuh.
Disamping itu Suharto sejak tahun 1970-an juga menggenjot penambangan minyak dan pertambangan, sehingga pemasukan negara dari migas meningkat dari $0,6 miliar pada tahun 1973 menjadi $10,6 miliar pada tahun 1980. Dengan kebijakan itu, Indonesia di bawah Orde Baru, bisa dihitung sebagai kasus sukses pembangunan ekonomi.

Kondisi Ekonomi Indonesia Pada Akhir Masa Orde Baru
Pelita VI (1 April 1994 – 31 Maret 1999)
Pada masa ini pemerintah lebih menitikberatkan pada sektor bidang ekonomi. Pembangunan ekonomi ini berkaitan dengan industri dan pertanian serta pembangunan dan peningkatan kualitas sumber daya manusia sebagai pendukungnya.
Namun Pelita VI yang diharapkan menjadi proses lepas landas Indonesia ke yang lebih baik lagi, malah menjadi gagal landas dan kapal pun rusak.
Indonesia dilanda krisis ekonomi yang sulit di atasi pada akhir tahun 1997. Semula berawal dari krisis moneter lalu berlanjut menjadi krisis ekonomi dan akhirnya menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Pelita VI pun kandas di tengah jalan.
Kondisi ekonomi yang kian terpuruk ditambah dengan KKN yang merajalela. Pembagunan yang dilakukan, hanya dapat dinikmati oleh sebagian kecil kalangan masyarakat. Oleh karena pembangunan cenderung terpusat dan tidak merata. Meskipun perekonomian Indonesia meningkat, tapi secara fundamental pembangunan ekonomi sangat rapuh.. Kerusakan serta pencemaran lingkungan hidup dan sumber daya alam. Perbedaan ekonomi antar daerah, antar golongan pekerjaan, antar kelompok dalam masyarakat terasa semakin tajam.. Terciptalah kelompok yang terpinggirkan (Marginalisasi sosial). Pembangunan hanya mengutamakan pertumbuhan ekonomi tanpa diimbangi kehidupan politik, ekonomi, dan sosial yang demokratis dan berkeadilan.
Pembagunan tidak merata  tampak dengan adanya kemiskinan di sejumlah wilayah yang menjadi penyumbang devisa terbesar seperti Riau, Kalimantan Timur, dan Irian. Faktor inilah yang selanjutnya ikut menjadi penyebab terpuruknya perekonomian nasional Indonesia menjelang akhir tahun 1997.

II.2.5 Periode Indonesia Bersatu I
Kehidupan ekonomi di periode ini berhasil mencapai, antara lain
Perekonomian semakin kokoh dan tumbuh dengan mantap disertai dengan penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan.
Pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai 5,5% per tahun, dengan angka pengangguran menurun ke 7,9% , dan angka kemiskinan menjadi 14,1% (tahun 2009).
1.    Perekonomian semakin kokoh dan tumbuh dengan mantap disertai dengan penurunan tingkat pengangguran dan kemiskinan.
2.    Ketahanan pangan semakin membaik: Indonesia menjadi pemasok dalam pangan dunia.

Presiden telah mencanangkan Revitalisasi Pertanian (termasuk perikanan, peternakan, kehutanandan perkebunan) di tahun 2005. Hasilnya, produksisemua komoditas pangan meningkat tajam dan Indonesia pada tahun 2008 mencapai swasembada beras.
•Stabilitas harga pangan dalam negeri, terutama harga beras terjaga.
•Keberhasilan ini meringankan beban bangsa lain dalam mengatasi krisis pasokan beras dipasar  global. Mengurangi tekanan harga Internasional.
Swasembada pangan Indonesia, menjadi model dalam mengatasi krisis pangan global, FAO,   2008
Bantuan pangan Indonesia untuk masyarakat dunia (Srilanka, Filipina, Palestina, dan Timor Leste).
3.    Ekspor meningkat tajam dengan peran ekspor non migas yang juga cenderung meningkat didukung oleh produk manufaktur.
4.    Peran Indonesia dalam ekspor dunia meningkat, strategi diversifikasi pasar ekspor Indonesia mulai membawa hasil.
5.     Jumlah Kunjungan Wisatawan Mancanegara dan Penerimaan Devisa (2001-2008)
6.    Sejalan dengan peningkatan penerimaan pajak, belanja meningkat tajam namun dengan defisit anggaran yang terkendali.

II.2.6 Periode Indonesia Bersatu 2

Tim ekonomi Kabinet Indonesia Bersatu jilid II mengusung misi tinggi. Pertumbuhan ekonomi 8 persen dipatok sebagai target yang harus dicapai.
Kondisi perekonomian dan kesejahteraan masyarakat meningkat. Bahkan tidak hanya dalam tatanan level ekonomi makro saja. Tingkat kemiskinan menurun sebesar 0,8 persen selama setahun.
Salah satu fokus kerja SBY-Boediono pada masa 2009-2014 adalah perbaikan ekonomi. Seperti yang kita ketahui, dengan komposisi pemegang kebijakan ekonomi 2004-2009, ekonomi Indonesia tidak dapat dikatakan stagnan, apalagi membaik. Utang luar negeri saja bertambah empat ratus triliun (1268 triliun tahun 2004 dan menjadi 1667 triliun tahun 2009).
Hingga saat ini perekonomian masih kurang terealisasikan dengan baik karena adanya perombakan menteri (resuffel) yang baru-baru ini terjadi.


Referensi :
Leirissa, RZ, GA Ohorella, dan Yuda B. Tangkilisan.1996. Sejarah Perekonomian Indonesia. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan RI:Jakarta.

0 komentar:

Posting Komentar